METODE
BERTANYA DALAM PENDIDIKAN
MENURUT
AL QUR’AN
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata
kuliah
Tafsir
Tarbawi II

FITA WULANDARI
(020121113)
Dosen Pengampu :
MAHBUB JUNAIDI, M.Th.I
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM DARUL ‘ULUM LAMONGAN
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah
SWT.Bahwa penulis telah menyelesaikan tugas mata kuliah Tafsir Tarbawi dengan judul “Metode Bertanya Dalam Pendidikan Menurut
Al-qur’an”
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan
ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam
menyelesaikan penelitian ini, khususnya kepada :
- Bapak H.M.Afif Hasbullah SH. S.Ag. M.Hum selaku rektor UNISDA serta segenap jajarannya yang telah memberikan kemudahan-kemudahan baik berupa moril maupun materil selama mengikuti pendidikan di Unisda.
- Bapak Mahbub Junaidi M.Th.I selaku kajur Pendidikan Agama Islam.
- Bapak Mahbub Junaidi M.Th.I selaku dosen mata kuliah Tafsir Tarbawi II yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam pelaksanaan bimbingan, pengarahan, dorongan dalam rangka penyelesaian penyusunan makalah ini.
- Rekan-rekan semua di kelas Pendidikan Agama Islam Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta yang telah memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar kepada penulis, baik selama mengikuti perkuliahan maupun dalam menyelesaikan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis merasa masih
banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi,
mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dar
semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah memberikan
imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat
menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Aminn Yaa Robbal ‘Alamiin.
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL………………………………………………………….….i
KATA
PENGANTAR…………………………………………………………...ii
DAFTAR
ISI……………………………………………………………….……iii
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang……………………………………………………...……..1
- Rumusan Masalah………………………………………………...……….2
- Tujuan…………………………………………………………...……..….2
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Metode Bertanya Dalam Pendidikan Menurut Al-qur’an
B. Peserta Metode Bertanya dalam Pendidikan menurut Al-qur’an
1.
QS.Al-Baqarah ayat
215……….................…………………………...8
2.
QS.Al-Mukminun ayat
88....................................................................18
3.
QS.Asy-Syuaro ayat 72-73……………………………………..….....20
BAB III PENUTUP
- Simpulan……………………………………………………….…….. ....22
- Saran……………………………………………….………...……...…...23
DAFTAR
PUSTAKA…………………………………………………………....24
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan
adalah bimbingan yang dilakukan oleh seorang dewasa kepada terdidik dalam masa
pertumbuhan agar ia memiliki kepribadian yang Islami. Dari satu segi kita
melihat bahwa pendidikan itu lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap
mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan baik bagi keperluan diri sendiri
maupun orang lain. Disamping itu pendidikan bertujuan agar terwujudnya manusia
sebagai hamba Allah. Menurut Islam pendidikan haruslah menjadikan seluruh
manusia yang menghambakan diri kepada Allah.
Islam
menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya
sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Akan tetapi pendidikan Islam
disini mencakup pengajaran umum dan pengajaran agama, yang didasari dengan
langkah-langkah mengajar yang disebut dengan metode pengajaran. Dalam
pendidikan Islam, pengajaran agama Islam mencakup pembinaan keterampilan,
kognitif, dan afektif yang menyangkut pembinaan rasa Iman, rasa beragama pada
umumnya. Adapun metode bertanya dalam pendidikan Islam yaitu cara yang paling
tepat dilakukan oleh pendidik untuk menyampaikan bahan dan bisa dipahami oleh
anak didik dengan mudah.
Dalam
Al-Qur’an dapat ditemukan berbagai metode bertanya dalam pendidikan. Dalam hal ini,
salah satunya metode bertanya dalam penbejaran yang merupakan metode pendidikan yang
berfungsi untuk mengajak dan membawa uamtnya ke jalan Allah dan untuk mendapat
keridhoan-Nya. Untuk itu, pemakalah akan menguak lebih jelas mengenai metode bertanya
dalam pendidikan secara global dalam bab pembahasan yang selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang
tersebut sehingga dapat ditarik beberapa pokok permasalahan, diantaranya :
1.
Apa pengertian Metode Bertanya dalam
Pendidikan menurut Al-Qur’an ?
2.
Bagaimana Metode
Bertanya dalam Pendidikan menurut Al-Qur’an ?
C. Tujuan
Berdasarkan dari rumusan
masalah tersebut, ada beberapa tujuan
yang Ingin penulis capai dalam penulisan makalah ini :
1.
Untuk Mengetahui pengertian
Metode
Bertanya dalam Pendidikan menurut Al-Qur’an.
2.
Untuk Mengetahui Metode Bertanya
dalam Pendidikan menurut Al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Metode Bertanya dalam Pendidikan menurut
Al-Qur’an
Secara bahasa, metode berasal dari
kata metha yang berarti balik atau belakang, dan hodos yang berarti melalui
atau melewati. Dalam bahasa arab diartikan sebagai thariqah atau jalan. Dengan
demikian, metode berarti jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Kata metode selanjutnya dihubungkan dengan kata logos yang berarti
ilmu. Dengan demikian metodologi berarti ilmu tentang cara-cara atau jalan yang
harus di tempuh untuk mencapai tujuan.[1]
Sedangkan secara istilah metode
sebagai cara-cara atau langkah-langkah yang digunakan dalam menyampaikan
sesuatu gagasan, pemikiran atau wawasan yang disusun secara sistematik dan
terencana serta didasarkan pada teori, konsep, dan prinsip tertentu yang
terdapat dalam berbagai disiplin ilmu terkait, terutama ilmu psikologi,
manajemen, dan sosiologi. [2]
Sedangkan pendidikan berarti baiknya
pemeliharaan dan pengurusan hingga melewati masa kanak-kanak baik ia anak
ataupun bukan atau bisa juga dikatakan tarbiyat dapat bermakna ghazautuhu (aku telah
memberinya makan), malakahu (memiliki atau menguasainya), namma
(mengembangkan), zaada (menambahkan), atamma (menyempurnakan), ashlaha
(membereskan atau mengatur).[3]
Dari beberapa definisi di atas
walaupun terdapat perbedaan dalam mendefinisikan pendidikan namun memiliki
persamaan persepsi bahwasannya pendidikan merupakan proses menumbuhkembangkan
seluruh potensi yang telah dianugrahkan Tuhan kepada makhluk hidup sebagai
peserta didik serta meluruskan fitrahnya sebagai ‘abid dan khalifah fil ardhi
melalui bimbingan, pemberian teladan serta amtsal-amtsal bahan materi yang akan
di ajarkan.
Karena manusia pada hakikatnya
membutuhkan pendidikan, sesuai fitrah dan kemampuan yang dimilikinya. Yang
dimaksud dengan fitrah disini adalah kemampuan-kemampuan dasar dan
kecenderungan-kecenderungan yang murni dan suci yang dimiliki oleh setiap
individu manusia sejak lahir. Kemampuan-kemampuan tersebut lahir dalam bentuk
sederhana kemudian saling mempengaruhi, tumbuh berkembang dan menjadi lebih
baik atau sebaliknya.
Istifham (tanya/ bertanya) salah
satu gaya bahasa Alquran. Dengan gaya bahasa seperti itu, ia akan semakin
memperlihatkan keindahannya sehingga mengalahkan uslub bahasa manusia. Selain
keindahan, uslub istifham juga memotivasi pembaca atau pendengarnya agar
berfikir atau mendengarkan apa yang akan dibicarakannya setelah pertanyaan
tersebut. Jiwa akan terdorong mendengarkan dan mengikuti arahannya. Jawaban
pertanyaan yang disampaikan al Quran tidak selalu relevan dengan persoalan yang
dipertanyakan, hal itu dimaksudkan memberikan arahan kepada manusia bahwa
sesungguhnya yang pantas ditanyakan adalah persoalan yang dijelaskannya itu,
bukan persoalan yang mereka pertanyakan.
Uslub Istifham ini dalam al Quran
terbagi ke dalam tiga jenis yaitu istifham hakiki (pertanyaan hakiki/ yang
sebenarnya); istifham taqriri (pertanyaan penegasan); dan istifham inkarii
(pertanyaan penolakan).
Adapun contoh istifham hakiki ialah
Q.S Al- Anbiyaa: 59- 60. Pertanyaan pada ayat (59): “Siapakah yang melakukan
perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami? Sampai disini kita, pembaca, belum
tahu apakah ini pertanyaan hakiki, yang betul-betul memerlukan jawaban ataukah
diajukannya pertanyaan ini karena ada maksud lain. Tetapi ketika bacaan sampai
dengan ayat (60), tahulah kita bahwa pertanyaan ini memang pertanyaan hakiki,
karena mereka yang ditanya memberi jawaban sesuai dengan pertanyaan, yaitu
“Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama
Ibrahim”. Jadi ayat (60) menjadi qarinah (alasan) terhadap apa maksud pertnyaan
ayat (59).
Lalu adapun contoh istifham takriri
ialah Q.S ad Dhuha: 6-7 sebagai berikut: “Bukankah Dia mendapatimu sebagai
seorang yatim, lalu Dia melindungimu?, dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang
bingung, lalu Dia memberikan petunjuk”.
Kita segera paham bahwa pertanyaan Tuhan itu jelas bukan ‘pertanyaan hakiki’, melainkan sebagai ‘penegasan’ (taqriri) bahwa Dia benar-benar telah mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu, penegasan ini kita pahami juga dari konteks pernyataan Tuhan pada ayat (7) berikutnya. Oleh karena bersifat penegasan, maka pertanyaan tidak perlu mendapat jawaban. Andaikata dijawabpun secara tersirat oleh Nabi telah diungkapkan atau memang benar begitu adanya.
Kita segera paham bahwa pertanyaan Tuhan itu jelas bukan ‘pertanyaan hakiki’, melainkan sebagai ‘penegasan’ (taqriri) bahwa Dia benar-benar telah mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu, penegasan ini kita pahami juga dari konteks pernyataan Tuhan pada ayat (7) berikutnya. Oleh karena bersifat penegasan, maka pertanyaan tidak perlu mendapat jawaban. Andaikata dijawabpun secara tersirat oleh Nabi telah diungkapkan atau memang benar begitu adanya.
Selanjutnya ialah mengenai istifham
inkarii salah satunya terdapat dalam Q.S al An’aam: 40 sebagai berikut: “Katakanlah:
“Terangkanlah kepadaku jika datang siksaan Allah kepadamu, atau datang kepadamu
hari kiamat, Apakah kamu menyeru (tuhan) selain Allah; jika kamu orang-orang
yang benar!”. Memperhatikan konteks dalaali-nya, pertanyaan ini tidak bermakna
hakikki ataupun taqriri, melainkan bermakna ‘penolakan’ (inkari). Maksudnya
“tidak perlu kamu menyeru (tuhan) selain Allah, jika kamu orang-orang yang
benar” atau ‘ tidak usah, tidak layak kamu menyeru.
Itulah beberapa makna istifham dalam
al Quran. istifham ini tidaklah digunakan oleh Allah SWT dengan tanpa sebab
atau dalam artian tidak berguna, akan tetapi itu semua mengandung hikmah. Salah
satunya ialah dipergunakannya uslub tersebut pada bidang pendidikan yang biasa
dikenal dengan metode pembelajaran dengan bertanya.
Di bawah ini saya akan melampirkan
ayat-ayat yang sekiranya dapat menopang konsep metode bertanya dalam
pembelajaran berikut implikasinya akan pembelajaran.
B. Metode
Bertanya menurut Al-Qur’an
1. AL BAQARAH
AYAT 215
يَسْئَلُونَكَ
مَاذَا يُنفِقُونَ قُلْ مَآأَنفَقْتُم مِّن خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ
وَاْلأَقْرِبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنَ السَّبِيلِ وَمَا
تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيمُُ {215}
“Mereka bertanya kepadamu tentang
apa yang mereka nafkah-kan. Jawablah, ‘Apa saja harta yang kamu nafkahkan,
hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.’ Dan kebaikan
apa saja yang kamu buat, maka sesungguh-nya Allah Maha Mengetahuinya.”
(Al-Baqarah: 215).
“Mereka bertanya tentang apa yang
mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah
diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” dan apa saja kebaikan yang kamu
buat, Maka Sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya”.
Mengenai
sabab nuzul ayat ini, diriwayatkan bahwa Amr’ bin Jamuuh (beliau adalah orang yang
kaya dari kalangan sahabat rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) bertanya
kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apa yang harus di infakkan dan
kepada siapa menghinfakkannya?, maka turunlah ayat tersebut diatas.[4]
Sebagai jawaban atas pertanyaannya tersebut. Dijelaskan bahwa yang di infakkan
adalah harta, dan semua hal yang berupa materi (al-khairaat). Dan orang yang
paling berhak menerima infak adalah :
1) Kedua orang tua, berdasarkan hadist
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : ketika menjelaskan tentang orang yang
paling berhak mendapatkan infak, beliau bersabda, “Ibumu, bapakmu, saudara
perempuanmu, saudara laki-lakimu, setelah itu orang-orang yang lebih dekat
(dalam hubungan kekerabatan).” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizdi, dan al-Hakim).
2) Para kerabat
3) Anak-anak yatim,
4) Orang-orang miskin
5) Dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan (yang kehabisan bekal).
Dalam Tafsir Imam Ibnu Katsir menurut
Muqatil bin Hayyan, ayat ini menerangkan anjuran untuk menafkahkan harta.
Menafkahkan harta yang disebutkan dalam ayat ini adalah infak yang bersifat
sunnah, bukan wajib. Dijelaskan dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan
hamba-Nya untuk menafkahkan harta dengan cara yang baik, misalnya memberikannya
kepada kedua orang tua, sanak kerabat, anak yatim, fakir miskin, dan ibnu
sabil. Inilah maksud ayat: “Katakanlah, “Harta apa saja yang kamu infakkan,
hendaklah diperuntukkan bagi kedua orang tua, kerabat, anak yatim, orang
miskin, dan orang yang dalam perjalanan.” Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW
memerintahkan umatnya untuk memberikan nahkah kepada kedua orang tua, saudara,
dan lain sebagainya. Jadi, menafkahkan harta di sini bersifat sedekah, bukan
harta yang wajib dikeluarkan seperti zakat.[5]
Sedangkan maksud ayat: “Dan kebaikan
apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”
bahwasannya Allah SWT mengetahui apa saja kebaikan yang telah dilakukan
manusia. Kelak Allah SWT akan memberikan balasan yang lebih besar dari pada
yang disedekahkan.
Menurut Imam At-Tabari Ayat ini
menjelaskan para sahabat Rasulullah SAW yang bertanya kepada beliau tentang
harta apa saja yang dapat diinfakkan dan disedekahkan? Jawabannya adalah
katakanlah kepada mereka, harta apapun dapat kamu infakkan dan sedekahkan.
Berikanlah kepada kedua orang tua, kerabat, anak yatim di sekitarmu, orang
miskin dan ibnu sabil. Sesungguhnya kebaikan yang kamu berikan dan lakukan pada
mereka sungguh Allah Maha Mengetahui, Dialah pelindungmu sehingga Dia akan
memberimu pahala pada hari kiamat, dan Dia akan memberi kamu pahala atas apa
yang kamu berikan kepada mereka, yaitu kebaikanmu menafkahkan harta kepada
mereka.[6]
Diriwayatkan dari As-Saddi, ia
berkata, “Pada hari diturunkannya ayat ini, syariat zakat belum ada, yang ada
hanya infak dan sedekah yang diberikan seseorang kepada keluargannya. Kemudian
dihapus oleh syariat zakat.”
Menurut At-Tabari, firman Allah SWT
ini dapat dipahami pula sebagai anjuran dari Allah SWT untuk berinfak yang
diberikan kepada kedua orang tua, dan kerabatnya, dan orang-orang yang
disebutkan pada ayat ini, yang hukumnya tidak wajib.[7]
Dalam rangka mengajarkan manusia,
ayat ini memulai pembelajarannya dengan menyampaikan suatu pertanyaan yang
pernah disampaikan sekelompok sahabat kepada Nabi Muhammad saw. mengenai apa
yang patut mereka nafkahkan. Dia SWT membuka pelajaran dengan ungkapan “Ada
orang bertanya kepada engkau tentang sistem pembagian nafkah hartanya”. Maka
jawabannya ialah “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada
ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang
yang sedang dalam perjalanan.” dan apa saja kebaikan yang kamu buat.” Dan
dengan ketentuan menurut Allah dan Rasul tersebut, maka hubungan antara sesama
mukmin menjadi baik.
Pola pembelajaran seperti ini biasa
digunakan guru dalam menyajikan materi pelajaran kepada siswa. Guru
menyampaikan pertanyaan-pertanyaan orang yang mungkin saja terjadi di luar
kelas, baik pertanyaan itu pernah diajukan kepadanya ataupun orang lain yang
mungkin bertanya pernah di dengar oleh guru tersebut. Kemudian guru menyampaikan
pertanyaan itu kembali di depan kelas, seperti ada orang bertanya tentang
perbedaan haji dan umrah, lalu guru menjawabnya sendiri dengan berkata:
“katakanlah bahwa umrah itu gini…..sedangkan haji itu….. atau bisa saja guru
menyusun sendiri pertanyaan tidak langsung dirumuskan dari tujuan dan materi
pelajaran. Guru bisa memulai pembelajaran dari pertanyaan itu baik dia jelaskan
sendiri jawabannya ataupun meminta siswa menjawabnya.
Adapun pelajaran yang dapat diambil
dari ayat ini ialah sebagai berikut:
a. Dianjurkannya bertanya bagi siapa
yang tidak tahu, sehingga ia menjadi tahu. Dan ini juga merupakan salah satu
cara untuk mendapatkan ilmu, sehingga para ulama salaf berkata, “Bertanya
adalah separoh ilmu”.
b. Seutama-utama infak adalah kepada
yang tersebut dalam ayat. Diriwayatkan ketika Maimun bin Mahran membaca ayat
ini, maka beliau berkata, “Inilah tempat penyaluran infak. Tidak disebutkan
didalam ayat itu, rebana, seruling, patung kayu, dan tirai dinding (barang yang
haram dan sia-sia. Pent.)”. Apabila yang berinfak adalah orang yang kaya dan
mereka fuqara dan membutuhkan.
c. Anjuran untuk selalu berbuat
kebaikan, dan iming-iming pahala yang akan diberikan kepada mereka.
d. Adanya larangan untuk menyalurkan
harta kepada hal-hal yang diharamkan dan perbuatan sia-sia.
2. AL
MUKMINUUN AYAT 88
قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ
شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Katakanlah:
“Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia
melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu
mengetahui?”
Ibn
Katsier berkata bahwasannya: “Bangsa Arab dahulu, jika ada orang yang
dipertuankan di antara mereka, lalu dia memberikan perlindungan kepada
seseorang, maka tidak ada penjagaan di sekitarnya dan orang-orang yang ada di
bawahnya tidak boleh melindunginya agar dia tidak mengecilkannya.[8]
Oleh
karena itu, Allah Ta’alaa berfirman, “Sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada
yang dapat dilindungi dari azab-Nya,” artinya, Dialah Rabb yang Maha Agung,
tidak ada satu pun yang lebih agung dari-Nya, penciptaan dan perintah hanya di
tangan-Nya serta tidak ada yang dapat menolak hukum-Nya, tidak ada yang dapat
melarang dan menentang-Nya. Apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi dan apa yang
tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan pernah terjadi.
Maksud
dari pertanyaan dalam ayat ini ialah bahwasannya seorang pendidik harus
benar-benar mampu memberikan materi ajar yang paling tepat bagi para peserta
didiknya baik itu ditinjau dari segi kognitif, afeksi, dan psikomotorik. Kalau
tidak, maka yang akan terjadi ilmu tersebut bukannya akan dapat menopang
hidupnya untuk bisa berkarya namun ilmu tersebut tidak akan berguna apa-apa
(tidak dapat melindunginya) dalam menghadapi persoalan hidup yang semakin sulit
untuk dihadapi oleh peserta didik.
Selain itu juga ayat ini mengisyaratkan agar para pendidik mampu menjadi guru yang kaya, maksudnya ialah guru tersebut selain memberikan ilmunya kepada muridnya, hendaknya dia juga mau untuk mendengarkan keluhan dari para peserta didik akan pembelajaran yang mereka ikuti. Karena biasanya peserta didik itu akan berkonsultasi pada guru yang dianggapnya paling dekat dengannya atau yang sering mengadakan komunikasi dengannya.
Selain itu juga ayat ini mengisyaratkan agar para pendidik mampu menjadi guru yang kaya, maksudnya ialah guru tersebut selain memberikan ilmunya kepada muridnya, hendaknya dia juga mau untuk mendengarkan keluhan dari para peserta didik akan pembelajaran yang mereka ikuti. Karena biasanya peserta didik itu akan berkonsultasi pada guru yang dianggapnya paling dekat dengannya atau yang sering mengadakan komunikasi dengannya.
3. ASY
SYU’ARAA AYAT 72-73
قَالَ هَلْ يَسْمَعُونَكُمْ إِذْ تَدْعُونَ (72) أَوْ يَنْفَعُونَكُمْ
أَوْ يَضُرُّونَ (73)
Ibrahim
berkata: “Apakah mereka mendengar saat kalian panggil? Atau dapat memberi
manfaat dan mencelakakan kalian?” (Asy Syu’araa': 72-73)
“Berkata
Ibrahim: “Apakah berhala-berhala itu mendengar (doa)mu sewaktu kamu berdoa
(kepadanya)? “atau (dapatkah) mereka memberi manfaat kepadamu atau memberi
mudharat?”
Keindahan
yang terkandung dalam ayat ini yaitu pada lafadz ينفعونكم او يضرون yaitu berupa thibaq (yaitu suatu gaya
keindahan kalam dari segi maknanya). Beliau juga menegaskan bahwasannya ayat
kedua ayat ini merupakan inti argumentasi Nabi Ibrahim a.s ketika
memperdebatkan berhala-berhala yang biasa kaumnya sembah. Lalu kaumnya tersebut
tidak menemukan jawaban yang pasti akan pertanyaan-pertanyaan yang diungkapkan
oleh Ibrahim a.s tersebut karena mereka tidak hanyalah berpegang akan tradisi
bertaqlid buta pada kakek dan nenek moyang mereka. Selain itu juga mereka tidak
mempunyai hujjah yang dapat diterima sebagai pengesahan/ pembenaran praktik
peribadahan dan penyucian berhala-berhala mereka. Hal ini juga menandakan akan
bukti yang paling kuat yang didasarkan pada buruknya taqlid dalam hal aqidah
serta kewajiban untuk bersandar pada pemikiran akal yang suci karena Allah
menciptakan akal itu sebagai pengkritik jalannya pengingkaran serta untuk
mengingkari tatacara peribadatan (sesembahan) mereka.[9]
Ayat
ini juga sebenarnya berkorelasi dengan ayat-ayat yang ada pada surat sebelum
dan sesudahnya. Di mana ayat tersebut menunjukkan tahapan berfikir dalam tahap
remaja yaitu pada diri Ibrahim a.s.
Berfikir
merupakan operasi yang dilakukan oleh akal. Secara etimologi berfikir
didefinisikan dengan usaha menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan
memutuskan sesuatu; menimbang-nimbang dl ingatan.[10]
Dalam bahasa arab bisa juga maknanya dengan definisi dari lafadz tafakkur yang
terambil dari fi’il تفكر-يتفكر-تفكرا. Lafadz tersebut dengan makna tadabur
(menelaah), I’tibar (mengambil pelajaran), itta’azha (menerima nasehat), serta
ta`ammala (menganalisis). Secara istilah ia mendefinisikannya dengan upaya akal
untuk mendapatkan jalan keluar (problem solving) serta kesimpulan dari suatu
penelitian tersebut. Namun secara
ringkas berfikir dapat di definisikan berfikir adalah berkembangnya ide dan
konsep di dalam diri seseorang.[11]
Pada
masa kanak-kanak, berfikir tidak terfokus pada metode induktif, yaitu pindah
dari bagian kecil ke total keseluruhan. Akan tetapi pada masa remaja, ia meneliti
fakta-fakta dan menelaah konsep-konsep parsial dari objek, berusaha menyingkap
dan mengetahui berbagai hal, secara bertahap dari bagian kecil ke total
keseluruhan. Dengan kata lain, perkembangan kognitif pada tahapan ini seorang
remaja telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan secara simultan (serentak)
maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif, yakni: 1) kapasitas menggunakan
hipotesis (anggapan dasar); 2) kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak).[12]
Dengan
kapasitas menggunakan hipotesis, seorang remaja akan mampu berfikir hipotetis,
yaitu berfikir mengenai sesuatu khususnya dalam hal pemecahan masalah dengan
menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan yang ia respon.
Sedangkan dengan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak, remaja tersebut
akan mampu mempelajari materi-materi pelajaran yang abstrak, seperti ilmu
agama, ilmu matematika, dan ilmu-ilmu abstrak lainnya dengan luas dan lebih
mendalam.
Ketika
ia tidak menemukan jawaban yang memuaskan, bakat berfikir pada fase remaja
tidak bosan-bosan untuk menela’ah dan meneliti hingga terungkap ujung berfikir,
dengan harapan dapat mencapai esensinya selama hal itu memungkinkan. Dia tidak
akan beralih dari tujuannya walaupun penelitian yang harus dilakukan sangat
rumit dan jalannya panjang.
Kemajuan
dan perkembangan zaman melahirkan tujuan-tujuan baru bagi manusia, yang
dituntut oleh kondisi kehidupan di setiap masa dan tempat. Tujuan-tujuan ini
boleh jadi jelas atau samar. Dalam kondisi pertama yakni tujuan itu nampak
samar maka ia perlu mengambil langkah-langkah serius dalam pemikirannya untuk
mendapatkan solusi yang benar, yang tidak bertentangan dengan hukum-hukum dan
prinsip-prinsip lingkungan sosial. Adapun jika dalam keadaan kedua yakni
tujuannya jelas kelihatan maka ia mesti memperhatikan jenis rintangan; kadang
sebabnya dari individu itu sendiri, tabi’at tujuan, atau lingkungan sosial.
Semua itu menuntut remaja untuk memikirkan sarana-sarana alami yang
merealisasikan keselarasan antara individu dengan tujuan-tujuannya dan lingkungan
sosialnya.
Oleh
karena itu penulis akan sedikit menyinggung serta menjelaskan sejauh pemahaman
penulis mengenai tahapan berfikir pada seorang remaja yang dikisahkan dalam
Al-Quran. Tahapan itu terdiri dari 4 tahapan;
a. Merasa ada masalah
Terdapat beberapa ayat yang menerangkan secara tersirat
bahwa tahapan awal berfikir Ibrahim a.s ialah ia merasakan adanya masalah yang
terjadi dilingkungannya dengan adanya penyembahan berhala, penganggungan yang
sangat tinggi terhadap para raja sehingga titahnya baik benar atau salah harus
tetap dipatuhi. Tahapan ini tergambar pada beberapa ayat sebagai berikut;
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ آزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا آلِهَةً إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ )الأنعام:74)
Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya,
Aazar, “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan?
Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.”
Hasbi ash-Shidiqie menafsirkan mengenai ayat ini dengan
berkata: “ Ingatlah, wahai Rasul, ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, Azar,
apakah kamu menjadikan patung-patung dan berhala sebagai tuhan-tuhan yang kamu
sembah selain Allah? sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu yang menyembah berhala
dalam kesesatan yang nyata. Lebih-lebih lagi menyembah patung yang dibuat dari
batu, kayu, atau logam.[13]
Hal senada juga diungkapkan oleh ats-Tsa’labi (1418 H:
484) dalam kitab tafsirnya dengan mengutip dari pernyataan ath-Thabari yang
berpendapat bahwa Allah memberitahukan kepada Nabi kita, Muhammad saw. suri
teladan pada diri Ibrahim a.s pada (cara) perdebatannya dengan kaummnya dimana
mereka merupakan para penyembah berhala sebagaimana kaummnya Nabi saw.
merupakan penyembah berhala juga.[14]
Pada ayat ini kita bisa berpendapat bahwa sebelum ia
bertanya pada kaumnya, penyembah berhala, mengenai sesembahan mereka selain
yang telah menciptakan langit dan bumi beserta isinya, Allah SWT, ada gejolak
rasa ingin tahu karena terdapatnya masalah atau penyimpangan di sekitar
lingkungannya dalam dirinya. Sehingga ia pun mempertanyakan hal itu pada ayah
dan kaummnya.
إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا(مريم:42)
Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; “Wahai bapakku,
mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat
menolong kamu sedikitpun?
Ayat ini memberi suatu pengertian bahwa tanya jawab ini
terjadi setelah Ibrahim diangkat sebagai nabi. Ibrahim a.s. tidak mengatakan
bahwa ayahnya adalah seorang yang bodoh. Dia juga tidak mengatakan dirinya
berilmu yang cukup, melainkan hanya mengatakan dia telah menerima suatu ilmu
yang tidak diberikan kepada ayahnya. Dipergunakan cara itu, karena biasanya
tidak ada keberatan satu pun bagi ayah untuk mengikuti anak yang akan
menunjukkannya kepada jalan yang.[15]
إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا تَعْبُدُونَ (70) الشعراء
Ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Apakah yang kamu sembah?”
Pertanyaan Nabi Ibrahim a.s yang diabadikan ayat di atas boleh jadi diajukan dalam dua kesempatan yang berbeda, sekali kepada orang tuanya, dan di kali lain kepada kaumnya. Boleh jadi diajukan dalam satu kesempatan, yakni saat orang tuanya dan kaumnya sedang melaksanakan ibadah yang ketika itu dilihat dan diamati oleh Nabi Ibrahim a.s. Penggunaan bentuk mudhari pada kata تعبدون dapat mendukung kemungkinan ini.[16]
b. Menentukan objek berfikir
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ آتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (258)البقرة
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim
tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu
pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah Yang
menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata: “Saya dapat menghidupkan dan
mematikan Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur,
maka terbitkanlah dia dari barat,” lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
Imam Samarkandi (tt: 171) menafsirkan ayat di atas sebagai
berikut:
Ayat “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah)”, apakah kamu belum dikabarkan kisah orang yang mendebat Ibrahim mengenai Ke-Esaan Tuhan-nya. Yaitu Raja Namrud karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan) dan dia merupakan Raja pertama yang menguasai dunia seluruhnya.[17]
Ayat “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah)”, apakah kamu belum dikabarkan kisah orang yang mendebat Ibrahim mengenai Ke-Esaan Tuhan-nya. Yaitu Raja Namrud karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan) dan dia merupakan Raja pertama yang menguasai dunia seluruhnya.[17]
Pada waktu itu mereka (rakyat Namrud) keluar untuk merayakan
hari raya mereka. Pada waktu sama Ibrahim as. mengunjungi berhala-berhala
mereka kemudian ia menghancurkannya. Maka tatkala mereka kembali. Ia bertanya
kepada mereka: “apakah kalian menyembah yang kalian pahat ini?” Lalu mereka
balas bertanya: “siapa yang engkau sembah?” dia menjawab: “aku menyembah Tuhan
yang menghidupkan dan mematikan. Sedangkan sebagian mereka berkata: waktu itu
Namrud lagi menimbun persediaan makannya, lalu ketika mereka membutuhkan
makanan tersebut mereka pun membelinya, maka tatkala mereka mengunjunginya
dengan serta merta mereka sujud padanya, namun ketika Ibrahim mengunjunginya ia
tidak sujud padanya. Lalu Namrud pun bertanya padanya: “mengapa anda tidak
sujud? Dia menjawab: “Saya tidak sujud kecuali kepada Allah.” Namrud bertanya
kembali: “siapa Tuhanmu? Lalu Ibrahim menjawab: “Tuhanku yang Maha Menghidupkan
dan Maha Mematikan.” lalu Namrud berkata kepadanya: “ Saya juga dapat
menghidupkan dan mematikan.” Kemudian Ibrahim bertanya bagaimana engkau
menghidupkan dan mematikan? Lalu dia mendatangkan dua orang, selanjutnya ia
membunuh salah satunya dan membebaskan yang satunya lagi. Kemudian ia berkata:
sungguh aku telah mematikan salah seorang dari keduanya dan akan menghidupkan
yang lainnya. Ibrahim berkata padanya: “anda menghidupkan yang telah hidup dan
bukan menghidupkan orang yang telah mati namun Tuhanku menghidupkan yang telah
mati.
Untuk membungkam Namrud maka Ibrahim as. mendatangkan
argumentasi yang lebih kuat lagi yaitu “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari
dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat”. Ibrahim merubah argumentasinya
dengan ini karena ia melihat adanya kesalahan pada perdebatannya itu sehingga menunjukkan
kelemahan pemahamannya dimana ia mendebat dengan ungkapan yang sama dengan
melupakan perbedaan dua kata kerja itu, maka Ibrahim berfikir ulang dan
mengemukkan argumentasi lain yang lebih baik untuk membungkam si pendebat itu
(raja Namrud). Peristiwa bungkamnya ini diabadikan al-Quran dengan ungkapan “فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ”.
c. Mengumpulkan hipotesis-hipotesis
yang relevan
قَالَ هَلْ يَسْمَعُونَكُمْ إِذْ تَدْعُونَ (72) أَوْ يَنْفَعُونَكُمْ أَوْ يَضُرُّونَ (73) قَالُوا بَلْ وَجَدْنَا آبَاءَنَا كَذَلِكَ يَفْعَلُونَ (74) قَالَ أَفَرَأَيْتُمْ مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ (75) أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمُ الْأَقْدَمُونَ (76) فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِي إِلَّا رَبَّ الْعَالَمِينَ (77) الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ (78) وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِ (79) وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ (80) وَالَّذِي يُمِيتُنِي ثُمَّ يُحْيِينِ (81)الشعراء
Berkata Ibrahim:
“Apakah berhala-berhala itu mendengar (doa)mu sewaktu kamu berdoa (kepadanya)?,
atau (dapatkah) mereka memberi manfaat kepadamu atau memberi mudharat?” Mereka
menjawab: “(Bukan karena itu) sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami
berbuat demikian.” Ibrahim berkata: “Maka apakah kamu telah memperhatikan apa
yang selalu kamu sembah, kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu?, karena
sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan Semesta Alam,
(yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku dan
Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit,
Dialah Yang menyembuhkan aku, dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan
menghidupkan aku (kembali).
Ibrahim as.
mengemukakan hipotesis-hipotesisnya yaitu sebagai berikut: pertama, berhala itu
tidak mendengar dan tidak juga memberi kemanfaatan maupun kemadharatan. kedua,
berhala itu tidak melihat mereka. Ketiga, bahwasannya tuhan yang patut disembah
ialah Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku dan Tuhanku,
Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah Yang
menyembuhkan aku, dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku
(kembali).
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (191)
ال عمران
Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka.
Ayat ini
menunjukkan bahwa orang yang berakal ialah orang yang mampu melakukan
pengamatan, penelitian serta pengungkapan hasil pengamatannya serta penelitian
atas apa yang ada disekelilingnya baik itu makhluk hidup maupun
fenomena-fenomena sosial, ekonomi, politik, maupun kebudayaan dalam bentuk
lisan maupun tulisan. Selain itu juga ini merupakan dorongan bagi orang beriman
untuk senantiasa berfikir melalui pengamatan dan penelitian terhadap apa yang
ada disekelilinginya dan senantiasa berkarya melalui lisan dan tulisannya.
d. Memilah-milah hipotesis
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ (76) فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ (77) فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ (78) إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (79) وَحَاجَّهُ قَوْمُهُ قَالَ أَتُحَاجُّونِّي فِي اللَّهِ وَقَدْ هَدَانِ وَلَا أَخَافُ مَا تُشْرِكُونَ بِهِ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبِّي شَيْئًا وَسِعَ رَبِّي كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا أَفَلَا تَتَذَكَّرُونَ (80) وَكَيْفَ أَخَافُ مَا أَشْرَكْتُمْ وَلَا تَخَافُونَ أَنَّكُمْ أَشْرَكْتُمْ بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا فَأَيُّ الْفَرِيقَيْنِ أَحَقُّ بِالْأَمْنِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (81) الأنعام
Ketika malam telah gelap, dia melihat
sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu
tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” Kemudian
tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku.” Tetapi setelah
bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi
petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat.” Kemudian tatkala ia
melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar.”
Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan
diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada
agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan
Tuhan. Dan dia dibantah oleh kaumnya. Dia berkata: “Apakah kamu hendak
membantah tentang Allah, padahal sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk
kepadaku.” Dan aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan yang
kamu persekutukan dengan Allah, kecuali di kala Tuhanku menghendaki sesuatu
(dari malapetaka) itu. Pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka apakah
kamu tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) ?” Bagaimana aku takut
kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah), padahal kamu
tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah sendiri tidak
menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukanNya. Maka manakah di antara dua
golongan itu yang lebih berhak memperoleh keamanan (dari malapetaka), jika kamu
mengetahui?\
Islam sangat
menganjurkan untuk berfikir logis dan independen sebagai jalan untuk
mendapatkan keyakinan tentang pokok-pokok agama, hukum-hukum syari’at, ibadah,
serta prinsip-prinsip pendidikan dan akhlak dalam agama. Oleh karena itu, Islam
tidak begitu menghargai keimanan tradisional, yang diwarisi turun-temurun dari
leluhur atau nenek moyang. Kecuali jika itu menjadi tangga untuk berikutnya,
yaitu iman yang dihasilkan oleh dorongan akal dan intuisi sekaligus.
Fase remaja
merupakan fase kelahiran kembali pemahaman akal. Artinya, bahwa pemahaman akal
muncul dalam bentuk baru yang tidak dikenal sebelumnya. Hal ini dikuatkan
dengan fakta bahwa takliif (pembebanan) dengan hukum-hukum syari’at dan ibadah
dalam Islam dimulai sejak seseorang balig begitu tanda-tanda balig muncul, atau
bila remaja mencapai usia lima belas tahun.
Pada fase
pertumbuhan ini, remaja dapat mandiri dalam berfikir, disamping dia juga dapat
mengetahui esensi banyak hal. Kekafiran keluarganya atau kesalahan akidah
lingkungan sosialnya tidak menghalanginya untuk berfikir mandiri. Karena jika
keyakinan-keyakinan yang batil dan aliran-aliran yang sesat ditimbang dengan
akal yang matang pasti akal tersebut akan menolaknya, atau paling tidak
meragukan kebenarannya. Dan dengan adanya keraguan itu sendiri seseorang sudah
pantas untuk menelaah dan memikirkan kembali secara lebih mendalam. Allah telah
menjelaskan didalam Al-Quran semuanya, seperti alam semesta merupakan medan
objek untuk di pikirkan, dirinya, harta dan lingkungan sekitar yang selalu
berdampingan dengan kita ini tertera dalam Adz-Dzariat ayat 20-22,
وَفِي الْأَرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ (20) وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ (21) وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ (22)
Dan di bumi itu
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. dan (juga)
pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? Dan di langit
terdapat (sebab-sebab) rezkimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan
kepadamu.
Demikianlah
kajian mengenai tahapan berfikir pada seorang Ibrahim dimana ia merupakan
seorang remaja yang diberi oleh Allah swt kemampuan menerawang secara luas akan
keadaan kaumnya sekarang dan masa depan melalui hati dengan merasakan adanya
masalah, telinga dan mata melalui pendengaran dan pengamatan, serta akal
melalui analisis masalah serta pemecahannya dan dengan lisan melalui kemampuan
mengungkapkan hasil yang telah ia lakukan itu sehingga ia mencapai kebenaran
yang hakiki.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Istifham
(tanya/ bertanya) salah satu gaya bahasa Alquran dan Jawaban pertanyaan yang
disampaikan al Quran tidak selalu relevan dengan persoalan yang dipertanyakan,
hal itu dimaksudkan memberikan arahan kepada manusia bahwa sesungguhnya yang
pantas ditanyakan adalah persoalan yang dijelaskannya itu, bukan persoalan yang
mereka pertanyakan.
Adapun
pelajaran yang dapat diambil dari Surat Al Baqarah ayat 215 ini ialah sebagai
berikut: 1) Dianjurkannya bertanya bagi siapa yang tidak tahu, sehingga
ia menjadi tahu. Dan ini juga merupakan salah satu cara untuk mendapatkan ilmu,
sehingga para ulama salaf berkata, “Bertanya adalah separoh ilmu”. 2)
Seutama-utama infak adalah kepada yang tersebut dalam ayat. Diriwayatkan ketika
Maimun bin Mahran membaca ayat ini, maka beliau berkata, “Inilah tempat
penyaluran infak. Tidak disebutkan didalam ayat itu, rebana, seruling, patung
kayu, dan tirai dinding (barang yang haram dan sia-sia. Pent.)”. Apabila yang
berinfak adalah orang yang kaya dan mereka fuqara dan membutuhkan. 3)
Anjuran untuk selalu berbuat kebaikan, dan iming-iming pahala yang akan diberikan
kepada mereka. 4) Adanya larangan untuk menyalurkan harta kepada hal-hal
yang diharamkan dan perbuatan sia-sia.
Maksud
dari pertanyaan dalam ayat Al Mukminun ayat 88 ini ialah bahwasannya seorang
pendidik harus benar-benar mampu memberikan materi ajar yang paling tepat bagi
para peserta didiknya baik itu ditinjau dari segi kognitif, afeksi, dan
psikomotorik. Kalau tidak, maka yang akan terjadi ilmu tersebut bukannya akan
dapat menopang hidupnya untuk bisa berkarya namun ilmu tersebut tidak akan berguna
apa-apa (tidak dapat melindunginya) dalam menghadapi persoalan hidup yang
semakin sulit untuk dihadapi oleh peserta didik.
Selain itu juga ayat ini mengisyaratkan agar para pendidik mampu menjadi guru yang kaya, maksudnya ialah guru tersebut selain memberikan ilmunya kepada muridnya, hendaknya dia juga mau untuk mendengarkan keluhan dari para peserta didik akan pembelajaran yang mereka ikuti. Karena biasanya peserta didik itu akan berkonsultasi pada guru yang dianggapnya paling dekat dengannya atau yang sering mengadakan komunikasi dengannya.
Selain itu juga ayat ini mengisyaratkan agar para pendidik mampu menjadi guru yang kaya, maksudnya ialah guru tersebut selain memberikan ilmunya kepada muridnya, hendaknya dia juga mau untuk mendengarkan keluhan dari para peserta didik akan pembelajaran yang mereka ikuti. Karena biasanya peserta didik itu akan berkonsultasi pada guru yang dianggapnya paling dekat dengannya atau yang sering mengadakan komunikasi dengannya.
Dalam
surat Asy Syuaro ayat 72-73 ini sedikit menyinggung serta menjelaskan mengenai tahapan berfikir pada seorang remaja
yang dikisahkan dalam Al-Quran. Tahapan itu terdiri dari 4 tahapan; 1) Merasa
ada masalah, 2) Menentukan objek berfikir, 3) Mengumpulkan hipotesis-hipotesis
yang relevan, 4) Memilah-milah hipotesis.
B. Saran
Dalam Penulisan makalah ini penulis
merasa masih banyak kekurangan kekurangan baik pada teknis penulisan maupun
materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan
saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Ibnu Katsir, 1999.Tafsir Al-Misbah Al-Munir fi Tahzib,Jakarta:
Pustak a Ibnu Katsir
Suriasumantri,
Jujun S. 1984. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Gramedia
Yusuf Muhammad, 2004.Studi Kitab Tafsir, Menyuarakan Teks Yang Bisu, Depok: Teras
Ahmad bin
Muhammad bin Ibrahim ats-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr
al-Qur’ân, Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, Cet. I, 1422 H, jilid
VI,
Ala' al-Din Al-Samarqandi,
2003. Tuhfah Al-Fuqaha', IV Beirut, Dar al-Fikr,tt.171,Tafsir Al-Qur’an
Yogyakarta:Mitra Pustaka
Hasbi ash-Shiddieqy, 2011.
Tafsir Al-Qur’an Majid An-Nur, Semarang::PT Pustaka Rizki Putra
Zuhaili
Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid III,
M.
Quraish Shihab, 2007. Tafsir Al-Misbah. Jakarta:Lentera Hati
Suriasumantri, Jujun S.. 1984 Ilmu
dalam Perspektif. .Jakarta: Gramedia.
[1] M. Yusuf, TafsirTarbawi
Pesan-Pesan Al-Qur’an Tentang Pendidikan, (Jakarta:AMZAH, 1993), hal.93
[2] Abuddin Nata, Pendidikan
Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Bandung: Alfabeta, 2001), cet.2, hal.176
[3] Ibnu Manzhur, Abiy Al Fadhl
Al Din Muhammad Mukarram, Lisan Al Arab (Bandung:MIzan, 1988), hal.95-96
[4] Jalaluddin As-Suyuthi, Asbabun
Nuzul:Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an. Cet 1, Jakarta: Gema Insani, 2008, hal
30
[5] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Misbah Al-Munir fi Tahzib,(Jakarta:
Pustak a Ibnu Katsir, 1999), hal.124.
[6] Al-Imam
Abi Ja'far Muhammad ibn Jarir Al-Tabari, Tafsir Al-Thabari, Juz I (Beirut: Dar al-Fikr, 1398/1978) hal.640-643
[7] Al-Imam
Abi Ja'far Muhammad ibn Jarir Al-Tabari, Tafsir Al-Thabari,.....hal.769-770
[9]
Zuhaili Wahbah, Fiqih Islam Wa
Adillatuhu, Jilid III, (Beirut,
Libanon : Darul Fikri Al-Ma'ashir, 1991 M/1418 H), Cet. 1 halaman 19
[10] Rohman, Abdul. Isi
KandunganSuratAsy-Syuaro (dulrohman.blogspot.com/…/tafsir-asy-syuaro–ayat-72-73-peliharalah.html,
diakses 19 0ktober 2015 pukul 09.00 WIB)
[11] Suriasumantri, Jujun S.. Ilmu
dalam Perspektif. (Jakarta: Gramedia, 1984)hal.52
[12] Suriasumantri, Jujun S.. Ilmu
dalam Perspektif....hal.78
[13] Hasbi ash-Shiddieqy. Tafsir
Al-Qur’an Majid An-Nur, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,2011) hal.39
[14] Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim
ats-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, (Beirut:
Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, Cet. I, 1422 H), jilid VI, hal. 484
[15] Hasbi ash-Shiddieqy. Tafsir
Al-Qur’an Majid An-Nur..... hal.15
[17] Ala' al-Din Al-Samarqandi, Tuhfah Al-Fuqaha' tt.171,(Yogyakarta:Mitra Pustaka, 2003) hal.167-168
In this manner my colleague Wesley Virgin's autobiography begins with this shocking and controversial VIDEO.
BalasHapusYou see, Wesley was in the military-and shortly after leaving-he revealed hidden, "SELF MIND CONTROL" secrets that the government and others used to get anything they want.
As it turns out, these are the exact same tactics lots of famous people (especially those who "come out of nothing") and top business people used to become rich and successful.
You've heard that you utilize only 10% of your brain.
Mostly, that's because the majority of your brainpower is UNCONSCIOUS.
Perhaps this expression has even taken place IN YOUR own head... as it did in my good friend Wesley Virgin's head 7 years ago, while riding an unlicensed, beat-up bucket of a car without a driver's license and on his bank card.
"I'm very fed up with going through life paycheck to paycheck! When will I finally make it?"
You took part in those conversations, isn't it right?
Your success story is going to be written. Go and take a leap of faith in YOURSELF.
Learn How To Become A MILLIONAIRE Fast